Rabu, 28 Januari 2015

Mengapa Mendaki, Mi?

Lupakan dulu rencanaku nulis tentang cikuray. Nextnya ada Papandayan (3x), Gunung Gede (lagi), Merbabu dan Beautifull Rinjani. Pengen nulis tentang ini dulu. *bersihin sarang laba-laba di blog


Pernah suatu ketika (sering sih) temanku bertanya, “Mi, apa enaknya sih naik gunung itu? Udah jalan, bawa ransel gede, nanjak lagi. Gak ada toilet lagi di atas gunung.”

Kalo ada yang nanyanya becanda, aku jawab sekenanya “Mau nyari jodoh”
Kalo ada yang nanya serius, aku jawab dengan ajakan, “ Yuk ikut, biar tau rasanya naik gunung. Tanggal sekian aku mau naik ke sini sama si itu dan si anu.”

Naik gunung, itulah hobiku. Untuk sebagian orang, memang wisata ke gunung itu hal yang aneh. Kita capek-capek naik, bawa tas keril kapasitas 60 liter lebih ke puncak, untuk dibawa turun lagi. Belum lagi masalah makannya gimana, air buat minum gimana, urusan toilet seperti apa, tidurnya di mana dll. Mending ke pantai, mall, city tour, atau wisata kuliner. Atau paling enggak, kita naik gunungnya pake mobil kayak ke bromo gitu hehehe.

Yah, masing-masing boleh  berpendapat dan memilih ya. Tapi bagiku, naik gunung bukan sekedar wisata atau hobi. Naik gunung adalah ajang pencarian jati diri. Naik gunung membuat kita banyak belajar, banyak hikmah yang dapat kita ambil dari sana. (ciehh bahasanya)

Yah, sekarang udah happening banget sih naik gunung semenjak adanya film 5 cm itu. Bahkan banyak yang bikin paket-paket wisatanya. Udah capek-capek mendaki, ehhh disuruh bayar lagi hehehe. Tapi aku naik gunung bukan karena “terhasut” film itu ya. Sejak kecil pun aku udah naik gunung di deket rumah,eh bukit ding hehehe. Nah cuman sekarang-sekarang aja bener-bener mendaki gunung. Dan mulai sering karena udah punya duit sendiri :p

So, kembail ke topik. Apa aja sih pelajaran yang dapat kita ambil dari sana? Berikut beberapa hal yang bisa kita maknai bersama
      
  Naik gunung mengingatkan kita akan kekuasaan Sang Pencipta
Percaya deh, kita takkan berhenti mengagungkan nama Tuhan ketika kita bisa berdiri di dekat Kawah Jonggring Saloka serta melintasi Oro-oro ombo  di Semeru; merebahkan diri di padang Edelweiss di Gede Pangrango atau Papandayan;  memandangi savana Sembalun atau memancing di Segara anak, di Rinjani. Kesemuanya membuat kita sadar betapa kita itu kecil, tidak berdaya, dan tidak berhak untuk sombong sedikitpun.

  Persiapan yang matang adalah yang utama
Kita dituntut untuk mempersiapkan sebaik mungkin. Perlengkapan harus siap 100% mulai dari tenda, sleeping bag, jaket, kompor mini, nesting, makanan dan minuman, jas hujan, rain cover, kupluk, masker, head lamp, kompas, rute terkking dan tetek bengek lainnya. Wajib juga persiapan fisik supaya gak kaget. Pelajari juga teknik-teknik membaca kompas dan survival guide yang lain. Kalo misalkan tersesat hendaknya S.T.O.P (Sit down, Think, Observe, Plan). Memang harus banget mempersiapkan ini itu  tetapi persiapan mental kita adalah yang utama. Ketenangan kita dalam menghadapi setiap situasi yang tak terduga diuji di sini.

  Mengajarkan kita tentang perjuangan menembus batas
Yang ini so pasti lah ya. Bukan suma berjuang membawa ransel berisi segala survival kit kita, tapi juga berjuang menembus medan dan cuaca yang tak menentu. Panas terik di siang hari, hujan badai di sore hari, serta dingin di malam hari pun kita berusaha lawan. Bahkan tengah malam kita berangkat lagi untuk mengejar sun rise di puncak. Naik gunung tidak hanya mengajarkan untuk terus berjuang melangkah, tetapi mengasah kita agar selalu berusaha menembus batas kemampuan kita. So, kebayang kan kalo misalkan punya calon pasangan pendaki gunung. Naik gunung aja kuat, apalagi naik pelaminan atau mendaki puncak mahligai rumah tangga hahaha.

  Dapat mengenal seseorang lebih dekat dan mengenal arti kebersamaan
Satu hal yang aku yakini bahwa kalau ingin mengenal orang lebih jauh, ajaklah menempuh perjalanan yang jauh pula. Niscaya sifat asli orang tersebut akan satu per satu muncul. Naik gunung bersama-sama juga membuat kita bisa mengenal baik buruknya sifat seseorang.
Selain itu naik gunung membuat kita menghargai arti kebersamaan, kerja sama, dan kepemimpinan. Susah senang selama perjalanan harusnya ditanggung bareng, nggak egois, saling membantu. Ikut membawa perlengkapan milik bersama, jangan mau enaknya aja Cuma bawa barang pribadi. Apalagi ngacir duluan, mentang-mentang bawaannya paling enteng hehehe (pengalaman pribadi). Pokoknya macem-macem lah.

Ada dua quote yang terkenal di antara kita para penikmat ketinggian, antara lain :
“Bukan puncak yang kita cari, tapi kebersamaan yang ingin kita lalui”, dan
“Aku memperjuangkan siapa pun yang menemaniku mendaki, bukan yang menungguku di puncak”
Quote yang pertama jelas. Quote yang kedua silahkan diartikan sendiri yah hehehe.

  Berani untuk bermimpi
Pertama kali aku mendaki plus kemping itu adalah di Gunung Gede dengan segala ketidakberdayaanku. Next year aku dengan pede mendaki Rinjani. So, penutup untuk tulisan ini adalah quote di tulisanku yang sebelumnya.
Menggapai puncak gunung yang pertama kali bagaikan meraih impianmu untuk pertama kali. Sekali bisa sampai puncak impian itu, kamu akan berani mendaki puncak-puncak lain, yang bahkan belum pernah kamu impikan sebelumnya.

Salam lestari

@fahmikacamata

2 komentar: